Penerimaan Siswa Baru 2011



Selamat Idul Fitri 1433 H. Ladang Amal : Infaq Membangun Masjid kirim ke PANITIA PEMBANGUNAN MESJID MAN 2 Bandung, No. rekening 131 - 00 - 0752993 - 8, BANK MANDIRI KCP Bandung Ujung Berung

Jumat, 25 Februari 2011

Mekar Sebagai Prinsip

Momon Sudarma

salah satu kreasi pengembangan kurikulum, ingin saya sebut sebagai kurikulum mekar. Mekar dalam konteks ini, dimaknai sebagai prinsip. Maksudnya, yaitu mekar itu sebagai prinsip pengembangan kurikulum yang dapat dan perlu dikembangkan di tingkat satuan pendidikan. Mekar sebagai sebuah prinsip, saya kembangkan dalam bentuk singkatan. Mekar itu adalah menyenangkan, efektif, kreatif, aktif dan religious.

Menyenangkan. Adalah Mumu Mubarak, seorang guru matematika memberikan contoh, bahwa di sekolah ini –katanya, banyak guru yang pintar, tetapi ternyata malah menyebabkan anak-anak tidak mampu belajar matematika dengan baik. Dalam hematan beliau, hal itu bisa disebabkan karena aura guru dan citra matematika yang masih dianggap menyeramkan. Matematika menakutkan. Matematika susah. Matematika jelimet. Dan lain sebagainya. Karena masalah itulah, beliau berpandangan, untuk mensukseskan proses pembelajaran, kita dituntut untuk menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Belajar itu menyenangkan. Matematika itu menyenangkan. Itulah solusinya.

Menyenangkan adalah prinsip pertama yang perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran kita, di sekolah kita. Karena dengan prinsip itulah, sebagai awal untuk membisakan siswa duduk di bangku belajarnya. Bila kita gagal menciptakan lingkungan yang menyenangkan, jangankan siswa semangat dalam belajar, untuk sekedar duduk di bangku sekolah pun akan membutuhkan usaha yang keras. Siswa tidak betah di kelas, karena dia tidak senang.

Ketidaksenangan siswa itu, bisa jadi terjadi dalam banyak dimensi. Pertama, dari sisi personal, ketidaksenangan muncul karena aspek pribadi si tenaga pengajar tersebut. Kedua, sisi material, yaitu siswa tidak menyukai pelajaran yang disampaikan guru. Ketiga, sisi metodologi, siswa tidak senang dengan cara guru memberikan pengajaran di kelas., Keempat, ketidaksenangan terjadi, karena siswa memiliki citra bahwa materi dipelajari tersebut tidak memberikan bantuan praktis terhadap kehidupannya sehari-hari.

Variasi dan kompleksitas ketidaksenangan itu, harus diminimalisir atau malah dihapuskan. Oleh karena itu, tenaga pendidik dan juga penyelenggara pendidikan berkewajiban untuk menciptakan lingkungan belajar, dan budaya mengajar yang menyenangkan.

Efektif. Hidup di zaman sekarang ini, materi pengetahuan sudah sulit dihitung oleh jari. Percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu dahsyat. Dalam sepuluh tahun saja, bisa jadi pengetahuan yang berkembang di dunia ini sudah berlipat-lipat. Seperti yang terjadi pada dunia IT (information Technology). Produk teknologi seri 1, hanya bertahan dalam 1 atau 2 bulan, yang kemudian dia tergusur oleh produk baru dengan spesifikasi teknologi yang jauh lebih canggih. Hal itu, terus terjadi dan silih berganti.

Paparan itu, ingin menjelaskan bahwa jumlah pengetahuan yang beredar saat ini, sangat-sangat banyak. Melimpah. Oleh karena itu, kebutuhan tenaga pendidik atau satuan pendidikan itu, bukanlah menjejalkan seluruh pengetahuan dan teknologi yang ada saat ini kepada peserta didik. Usaha itu, hanya akan menyebabkan anak lelah, dan sia-sia. Tidak mungkin kita mampu mengejar percepatan pertumbuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan tidak mungkin, waktu yang terbatas di lembaga pendidikan untuk bisa menjejalkan seluruh pengetahuan yang berkembang.

Lembaga pendidikan formal, khususnya sekolah/madrasah, memiliki sejumlah keterbatasan. Baik waktu, ruang, maupun kemampuan. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi khusus dalam mewujudkan visi dan misi pendidikan, sekaligus memberikan bekal kemampuan kepada peserta didiknya. Inilah persoalan dasar yang harus sama-sama dipahami oleh tenaga pendidik dan atau penyelenggara pendidikan.

Prinsip efektifitas, memberikan panduan kepada kita bahwa kita tidak boleh menjadi pemborong. Guru bukan pemborong, yang bertugas menjejalkan seluruh pengetahuan dan teknologi yang berkembang di dunia kepada peserta didik. Bukan itu, pekerjaan guru. Guru adalah fasilitas yang berkewajiban untuk merumuskan strategi efektif, dalam memberikan modal hidup (life capital) sehingga peserta didik dapat hidup secara kompetitif.

Terkait dengan hal itulah, maka tugas kita adalah meningkatkan efektivitas dalam belajar dan mengajar. Bila bisa dipercepat, mengapa harus diperlambat, bila dapat disingkat kenapa harus diperpanjang ? bila dapat dilakukan secara pendek mengapa harus diperpanjang ?

Sewaktu di SMK Informatika Bandung, saya mengembangkan konsep degradasi kurikulum. Artinya, waktu itu saya berkeyakinan bahwa pengetahuan itu bukan sesuatu yang kaku. Tidak ada pembatas mengenai pengetahuan. Tidak ada pembatas, misalnya, pengetahuan ini hanya milik SMP, milik SMA, atau milik perguruan tinggi, atau hanya boleh dipelajari oleh mahasiswa pascasarjana sekalipun. Bagi saya waktu itu, siapapun dan kapanpun boleh mempelajarinya. Dengan kata lain, mata pelajaran yang saat ini, diklaim sebagai bagian dari materi perkuliahan, saya akan ‘raih’ dan diturunkan derajatnya menjadi materi kelas 3 SMK. Setidaknya, waktu itu menerapkan menurunkan 1-2 tingkat materi pelajaran. Anak SMK Informatika yang kami ajari waktu itu, dia harus sudah bisa mempelajari materi informatika tingkat 1 atau 2. Kemampuan anak-anak kami, waktu itu, lulus dari SMK diharapkan setara dengan lulusan informatika diploma 1 atau 2. Itulah misi pendidikan kami. Dan itulah, yang kami sebut degradasi kurikulum atau akselerasi pembelajaran.

Misi itu, merupakan bentuk operasional dari misi kami dalam mengembangkan kurikulum dan juga dalam meningkatkan kualitas lulusan. Bila bisa dipelajari sekarang, mengapa harus ditunda-tunda. Bila masih bisa dipelajari, mengapa harus di’pr’-kan. Bila bisa dipercepat, mengapa harus diperlambat.

Kreatif. Selaras dengan apa yang terkait dengan kebutuhan untuk meningkatkan efektivitas pembelajaran, kurikulum yang unggul itu adalah kurikulum yang mendorong kreativitas pada peserta didik.

Dalam konteks wacana ini, ada dua jenis kurikulum. Satu sisi yaitu kurikulum yang bisa merangsang siswa untuk bisa mekar atau kreatif. Kurikulum seperti ini, saya sebut sebagai kurikulum yang bergizi. Pada sisi lain, ada kurikulum yang bersifat doktriner, dan hanya memosisikan siswa sebagai objek pendidikan. Siswa tidak lain hanyalah gelas kosong, yang harus siap diisi apapun oleh guru. Kurikulum yang seperti ini, saya sebut kurikulum tidak bergizi. Kurikulum tersebut, selain berwajah kurikulum yang tertutup, juga tidak merangsang siswa bisa kreatif atau menghambat siswa untuk mekar.

Aktif. Kurikulum mekar adalah kurikulum yang memosisikan siswa sebagai subjek pembelajaran. Spirit mekar merupakan model pembelajaran yang memosisikan keaktivan siswa sebagai hal utama.

Dalam pendidikan Indonesia sempat dikenal sejumlah konsep yang mengarah pada upaya meningkatkan keaktifan siswa. Diantaranya, yaitu ada CBSA (cara belajar siswa aktif), belajar aktif (active learning), belajar berkelompok (cooperative learning), dan sebagainya. Semua itu, merupakan contoh dari upaya membangun keaktivan siswa dalam belajar.

Terakhir, yaitu masalah religiusitas. Ahmad Tafsir (2010) melihat bahwa krisis bangsa Indonesia ini, pada dasarnya lebih disebabkan karena masalah moral (akhlak). Karena adanya kelemahan pada aspek inilah, kemudian menyebabkan adanya kejahatan kerah putih, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme. Maka, solusi yang harus dilakukan pun, menurut pandangan Ahmad Tafsir yaitu pembenahan moralitas anak bangsa. Pada konteks itulah, aspek religiusitas menjadi sangat penting dalam konteks pembelajaran di Indonesia.

Dengan bahasa yang berbeda, tampaknya kesadaran mengenai aspek ini kini menguat kembali. Para pakar pendidikan (2011), kini tengah membincangkan mengenai pendidikan karakter (character education). Mereka memandang bahwa masalah pendidikan kita saat ini, belum mampu memberikan dampak afeksi terhadap perilaku dan karakter bangsa.

Tidak ada komentar: